Mei 01, 2012

Aceh Jezz Bubur


Lagi asyik berkutat dengan tabulasi data hasil kuesioner, teman kantor seruangan ‘berhasil’ mengalihkan perhatianku dengan ‘temuan’nya di internet. Temuan tentang crita sukses sang pengusaha bubur jagung asal Aceh itu sungguh menginspirasi.


Betapa kesabaran, ketekunan, dan yang paling penting keyakinannya yg sangat kuat untuk dapat menjalankan usaha sesuai syariat Islam, patut dijadikan contoh sekaligus bahan renungan bersama. Bayangkan .. karena keinginannya untuk menjalankan usaha yang syar’i , ujian demi ujian menimpanya. Dari omzet yg semula  25 juta per bulan anjlok jadi 2,5 juta perbulan, cemoohan, terkena gempa tsunami, daya jual yang terus menurun, beban hutang yang cukup besar, dan ujian hidup lainnya, tak membuat sang pengusaha ‘berubah haluan’. 

Sampai akhirnya kesuksesan dan insya Allah keberkahan telah diraihnya saat ini. Usahanya yang berpusat di daerah Depok-Jabar, bermula dari jualan burger kemudian fokus pada aneka bubur, mulai bubur ketan hitam, bubur kacang hijau, bubur ketan saus durian, bubur sumsum, sampai dengan bubur jagung yang menjadi favorit para pelanggannya, telah menghasilkan omzet kotor 10 - 15 juta perharinya. Sistem take a way yang diterapkan pada semua outletnya, tak mengurangi tingginya daya jual. Saat ini sang pengusaha sedang menyiapkan proses perijinan waralaba. 

Coba simak crita lengkapnya di http://pengusahamuslim.com/aceh-jess-bubur-1420

(update 28 juni)
btw nyinggung ttg waralaba, ada beberapa  hal yg perlu diperhatikan (sumber konsultasisyariah.com) :
  • pihak terwaralaba yg telah membayar uang sewa hak intelektual dan berbagai layanan  yang diberikan  oleh pewaralaba (franchisor), seharusnya tidak ada pungutan bagi hasil bulanan dari keuntungan pihak terwaralaba. adanya pungutan fee bulanan ini, menjadikan nominal nilai sewa hak-hak intelektualnya tidak jelas, atau yang disebut dengan gharar (ketidak-jelasan) pada suatu akad menjadikannya terlarang dalam syariah.
  • pihak pewaralaba harus benar-benar  mentransfer semua sistem, teknologi, dan manajemen usaha yang berlaku. Ketentuan ini bertujuan agar akad waralaba tidak menipu konsumen, sehingga merek dagang yang disewakan kepada pihak terwaralaba bukan sekedar nama kosong. merek dagang yang selama ini mewakili sistem kerja, teknologi pengolahan dan mutu barang atau layanan, benar-benar didapat oleh konsumen, sehingga tidak ada unsur penipuan.