Desember 27, 2016

Honour Killing ....


Minggu lalu berkesempatan nonton sebuah film dokumentar di sebuah saluran tv kabel yang mengisahkan tentang Saba Maqsood  - perempuan asal Pakistan yang sempat mengalami percobaan pembunuhan oleh ayah kandung dan pamannya sendiri. Saba dibunuh karena nekat lari dari rumah untuk menikah dengan pemuda yang dicintainya - yang kebetulan berasal dari keluarga kurang mampu, dia tegas menolak perjodohan yang dipaksakan oleh keluarganya. 

Di hari yang naas itu, Saba dijemput di rumah mertuanya oleh ayah dan pamannya. Awalnya dia takut, tapi akhirnya menurut karena keduanya berjanji bahkan bersumpah di atas Al Qur'an tidak akan menyakiti Saba. Tapi ternyata Saba disekap lalu ditembak di pelipis, dan dimasukkan ke dalam karung, kemudian dilempar ke sebuah sungai. Sungguh sebuah percobaan pembunuhan yang keji.

Tapi takdir Allah menentukan lain, dalam kondisi luka parah, Saba akhirnya berhasil menyelamatkan diri. Dan masalah baru menantinya, keluarga Saba dan masyarakat sekitar malah seakan "menghukumnya", karena dia dianggap telah mempermalukan keluarga, lari dari rumah untuk menikah dengan pemuda yang tidak direstui keluarganya dan 'menjebloskan' ayah dan pamannya ke dalam penjara. Ayahnya bahkan tidak menyesali perbuatannya dan tidak mau menganggap Saba sebagai bagian dari keluarganya lagi. Ayah dan pamannya bahkan menganggap upaya pembunuhan yang mereka lakukan merupakan jalan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri keluarga - "honour killing" ... Subhanallah

Saba yang  awalnya bersikeras tidak mau memaafkan ayah dan pamannya, mengingat begitu keji perbuatan mereka terhadap dirinya, akhirnya tidak bisa mengelak.  Tekanan tokoh masyarakat setempat saat itu "memaksa" Saba untuk memaafkan ayah dan pamannya agar mereka dapat dibebaskan dari penjara. Harga sebuah pengampunan dari Saba, yang sebenarnya jauh di lubuk hatinya dia belum rela memberikannya.

Sungguh menyayat hati .. kenapa harus sekejam itu sampai Saba harus dibunuh oleh ayah dan pamannya sendiri? Padahal dalam Islam telah jelas diatur bahwa perjodohan itu harus meminta pertimbangan pihak perempuan yang akan dijodohkan. Jika dia menolak, maka orang tua atau wali tidak boleh memaksanya. Seperti yang dikutip dari sebuah artikel berikut ini : 

"Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan diamnya.” (HR. Al-Bukhari No. 5136 dan Muslim No. 1419).

Imam Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putra Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha,
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)

Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti sang wali tidak punya andil sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan, justru sang wali disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya seorang gadis malu untuk mengungkapkan keinginannya. Sebagaimana dijelaskan dalilnya di dalam hadits berikut.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada beliau, “Dia malu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)". Sumber: https://muslimah.or.id/6506-hukum-perjodohan-ala-siti-nurbaya.html



Tidak ada komentar: