Juni 20, 2025

Antara nurani dan geopolitik

Tagar #alleyesondeck dan #globalmarchtogaza akhir-akhir ini rame. Makin banyak warga dunia yang terang2an menunjukkan kepeduliannya pada blokade bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza. Tapi muncul juga pertanyaan, mengapa Mesir sangat sulit membuka perbatasan Gaza (tepatnya di wilayah Sinai)? Kita coba riset kecil2an agar gak terseret narasinya pihak pendukung "sirewel" sang penjajah. Agar paham kenapa Mesir tidak bisa sembarangan membuka perbatasan itu. Tentu bukan karena Mesir tidak peduli dengan Gaza.

Banyak hal ternyata yang bikin Mesir dilema, berdiri diantara hati nurani dan realitas politik. Secara hukum, secara geopolitik, dan secara keamanan dalam negeri. Ada yang namanya Perjanjian Camp David, sejak tahun 1978. Itu perjanjian damai antara Mesir dan sirewel. Salah satu poinnya, Mesir tidak boleh sembarangan menaruh kekuatan militer di perbatasan Gaza, terutama di jalur sempit yang namanya Koridor Philadelphi. Itu wilayah sensitif, cuma 14 km panjangnya, tapi jadi titik rawan yang harus dijaga ketat. Kalau Mesir tiba-tiba membuka perbatasan tanpa koordinasi internasional, bisa dianggap pelanggaran serius. 

Lalu ada kekuatiran lain yang tak kalah besar, yaitu soal eksodus. Banyak analis termasuk dari New York Times dan Reuters bilang bahwa siriwil “punya misi” memaksa warga Gaza keluar dari tanah airnya lewat Rafah. Dipindahkan ke Sinai, “diusir perlahan”. Dan itu kalau dibiarkan, sama saja dengan membiarkan penjajahan pindah bentuk jadi pengusiran massal, dan Mesir jelas menolak itu (desain gambar dibantu AI untuk edukasi kemanusiaan - ilustrasi peta bukan bermaksud mengakui eksistensi siriwil).

Kita juga harus ingat, Mesir punya masalah dalam negerinya sendiri. Wilayah Sinai, yang jadi perbatasan itu, bukan wilayah damai. Sudah lama jadi medan konflik dengan kelompok-kelompok bersenjata. Pemerintah mereka khawatir, kalau Rafah dibuka bebas, bukan cuma pengungsi yang masuk, tapi juga potensi infiltrasi militer, senjata, bahkan kekacauan baru.

Apakah Mesir tidak bisa berbuat lebih? Mungkin bisa. Tapi mereka juga sedang menghadapi tekanan dari dua sisi: dari luar karena dianggap terlalu pasif. dan dari dalam karena harus menjaga stabilitas negeri mereka sendiri. Sebuah tulisan dari Brookings Institution menyebut Mesir menghadapi "jebakan geopolitik" dari potensi eksodus massal warga Gaza ke Sinai, yang dapat mengubah krisis kemanusiaan menjadi beban keamanan dan stabilitas domestik bagi Mesir (selengkapnya di sini https://carnegieendowment.org/research/2025/03/ending-the-new-wars-of-attrition-opportunities-for-collective-regional-security-in-the-middle-east?lang=en&utm_source=chatgpt.com.) 

Rafah sebenarnya tidak sepenuhnya ditutup. Sejak akhir tahun lalu, ribuan pasien luka dari Gaza sudah berhasil masuk ke Mesir untuk dirawat. Ratusan truk bantuan juga dikirimkan, meski jauh dari cukup, dan harus melalui proses yang rumit. Selain itu, banyak negara termasuk di kawasan Timur Tengah (Arab Saudi, Qatar, UEA, dll) memberikan bantuan dalam “diam” untuk alasan keamanan distribusi, pertimbangan diplomatik, motivasi keikhlasan. 

As we know, mayoritas media mainstream Barat gak banyak memberi panggung untuk bantuan kemanusiaan dari negara2 Arab, karena gak sesuai dengan agenda mereka. Narasi yang berkembang sering tidak obyektif. Kita seperti digiring untuk menyudutkan negara2 Arab termasuk Mesir. Seolah2 Mesir jadi penghalang utama masuknya bantuan kemanusiaan. Semua itu untuk mengalihkan fokus dunia dari isu utama, dan menjerumuskan kita ke dalam narasi pecah belah. Padahal jelas terang benderang, yang memblokade Gaza sejak lama itu ya isriwil. Yang mengontrol udara, laut, dan sebagian besar darat ya siriwil itu. Yang menggempur rumah-rumah warga sipil, ya sirewel itu.

Rasanya gak habis pikir melihat kebiadaban sirewel, seperti dalam sebuah video, tentara sirewel merekam momen2 saat menggempur rumah warga sipil sambil selfie cengar cengir .. subhanallahu.. Simak aksi bejatnya disini https://youtube.com/shorts/0SW_UhTRExg?si=Eo0Z52A-5HfImIE6 Berharap ICC (Mahkamah Pidana Internasional) bisa mengadili mereka, walau mungkin gak berharap banyak putusan akan diberikan seadil2nya bagi siriwil. Hanya Allah sebaik2 pemberi balasan.

Semoga kita tetap peduli sampai tuntas perjuangan rakyat Palestina. Sekecil apapun dukungan kita, semoga kelak menjadi hujjah di hadapan-Nya.. aamiiin.

#keepwritingkeepkind

Mei 23, 2025

ToT KKA: Dari Skeptis ke Realistis

Allhamdulillah 14 -19 Mei kemarin berkesempatan mengikuti Training of Trainers Koding dan Kecerdasan Artifisial (ToT KKA) Batch 3, yang diselenggarakan oleh Kemendikdasmen. Temanya kekinian banget ya.. hmm awalnya sempat skeptis. Mapel KKA yang rencananya akan jadi mata pelajaran pilihan di jenjang SD, SMP, hingga SMA rasanya terdengar ambisius. Sempat ragu, memangnya semua sekolah sudah siap? Bagaimana dengan gurunya, siswanya, platform pendukungnya? Tapi coba untuk open mind saja, mungkin ini salah satu cara pemerintah untuk memajukan pendidikan dasar dan menengah.

Salah satu hal paling menyenangkan dari kegiatan ini adalah bisa bertemu dengan banyak rekan seprofesi se Indonesia (khususnya bagian tengah dan timur).. nambah jejaring nambah wawasan. Pesertanya ratusan dibagi dalam kelas dan kelompok berbeda. Bisa reunian juga dengan teman kuliah S2 yg kebetulan fasilitator di kelompok kami (foto terlampir kelompok A1 bersama fasilitator Bu Lily dan Bu Maresha). Lama gak sua beliau, sekalinya ketemu langsung full 5 hari😊

Walau jadwal ToT cukup padat: pemaparan materi, simulasi LMS, bedah modul, ngisi lembar kerja, quiz, tes awal & akhir, ngisi kuesioner puanjang, dan peer teaching; tapi semua peserta tetep happy, guyon gayeng, bikin foto ato animasi lucu2an hasil AI untuk latar slide ppt, dan yang gak boleh ketinggalan mlaku2 nang Tunjungan di tiap akhir sesi hehe.. Kebetulan hotel Platinum tempat kami nginep ada di pusat kota, pusat kulineran dan pernak pernik lainnya, pedestriannya bersih dan nyaman .. Malioboro-nya Suroboyo. Kalau ditanya, capek nggak? Pastinya. Durasi pelatihan yg lumayan singkat untuk materi dan tugas yang bejibun. Alhamdulillah semuanya sehat2. Ada 5 modul per fase disesuaikan untuk setiap jenjang (Fase C, D, E, F dari SD sampai SMA kelas 12). Dari situ bisa menangkap, tujuan pelatihan ini sepertinya bukan hanya untuk “mengajarkan coding dan AI” semata, tetapi juga mencoba menyiapkan ekosistem pembelajaran yang relevan dengan perkembangan jaman. Mencoba membekali siswa dengan cara berpikir logis, kreatif, reflektif, dan bertanggung jawab. Dan itu dimulai dari kami dulu, para pendidik.

Salah satu topik yang menarik adalah deep learning dalam konteks pedagogi (bukan temennya si machine learning). Pembelajaran mendalam penuh makna yang menekankan tiga prinsip utama: meaningful learning, mindful learning, joyful learning. Pendekatan itu bergerak dalam tiga tahap : memahami – menerapkan – refleksi dan tindak lanjut.

Dalam sesi peer teaching, setiap peserta diberi topik yang berbeda yang ditentukan oleh fasilitator. Topik yg kupresentasikan adalah rekayasa prompt berbasis AI-Generatif. Teknologi openAI seperti ChatGPT, Gemini, Deepseek, dan sejenisnya, yang kini semakin banyak mengintervensi kehidupan dengan segala manfaat dan risikonya. Karena itu, penting untuk memahami cara me'rekayasa' prompt AI-Gen sekaligus bersikap kritis terhadap hasil yang diberikan. Materi tersebut plus model bahasa besar (LLM) coba kurangkum dalam bentuk dokumen edukatif yang dapat diakses bebas melalui Figshare di alamat https://doi.org/10.6084/m9.figshare.29134664 .. monggo disimak, semoga bermanfaat.

Menurutku AI-Gen khususnya ChatGPT 4.0 sangat membantu, asalkan digunakan dengan etika, akal sehat, dan niat untuk belajar. Para profesional termasuk pengajar juga banyak yang memanfaatkannya sebagai asisten virtual, seperti menyusun materi, bahan ajar, mengolah ide, membuat soal, mengoreksi jawaban, menyunting naskah, dll (tentu tetap dlm kontrol, batasan dan kendali pribadi). Jadi fair menurutku, jika mahasiswa juga 'diijinkan' menggunakan AI-Gen sebagai alat bantu dalam proses pembelajarannya. Kuncinya tetap: verifikasi, validasi, dan cek-ricek. Jangan asal comot hasilnya tanpa paham konteksnya. Beberapa rekan seprofesi bahkan juga menggunakan pendekatan open book - open gawai, dengan soal-soal yang menantang mahasiswa untuk berpikir kritis dan merefleksikan pemahaman serta pengalaman mereka. Termasuk membuat instrumen evaluasi yang dapat "menghargai proses" bukan hanya hasil. Pendekatan ini bisa meminimalisasi plagiasi atau praktik menyalin dan menempel jawaban begitu saja.

Tapi tentu saja, tidak semua hal tentang AI ini mulus. Ada kekuatiran juga, ChatGPT misalnya, kadang mengarang data atau sumber. Kita bisa tergoda untuk copy-paste tanpa memahami isi. Dan jika dosen atau guru hanya mengandalkan AI semata, proses pembelajaran pun bisa kehilangan esensinya. Maka yang harus berubah bukan cuma sikap kita terhadap AI Generatif seperti ChatGPT, Gemini, dll, tapi juga pendekatan pembelajaran kita. Dunia sudah berubah, maka kita juga perlu berinovasi, tapi tetap dengan arah yang jelas.

Lalu, muncul juga refleksi yang cukup menggugah. Di tengah semangat kita memperkenalkan teknologi khususnya AI ke sekolah, negara-negara maju seperti Finlandia dan Swedia justru sedang mengurangi penggunaan perangkat digital di ruang kelas. Mereka kembali ke “cara konvensional” kembali ke buku fisik, tulisan tangan, dan diskusi tatap muka. Alasannya? Kesehatan mental siswa, menurunnya konsentrasi, banyak distraksi, dan dampak jangka panjang dari paparan digital yang berlebihan.

Sementara kita sedang bersiap memasukkan AI ke ruang kelas sekolah dasar dan menengah, yang tentu dikemas dengan diksi narasi materi sesuai fase atau level nya (SD SMP SMA/SMK). Salahkah? Jawabannya tergantung kesiapan dan banyak hal lain, tentu setiap negara punya timeline-nya sendiri. Negara-negara maju mungkin sudah melalui era canggih serba digital, dan sekarang mereka dalam fase mengevaluasi hasilnya. Kita mungkin masih dalam fase membangun pondasi digital, jadi pendekatannya berbeda. Kita bisa belajar dari mereka, mengambil yang positif, tanpa harus mengulang kesalahan yang sama.. semoga.

Beberapa catatan dari ToT yg masih perlu jadi perhatian, mulai dari kesiapan platform LMS, kesiapan seluruh materi di dalam modul yg masih perlu dievaluasi tingkat kesulitannya sesuai level - seperti materi pemrograman berbasis AI yang 'antep' - rasanya lebih pas untuk siswa SMK jurusan RPL, kesiapan pendampingan, kesiapan evaluasi, sampai kesiapan guru dan sumber daya lainnya di sekolah yang tentu beragam. 

Saat ini banyak sumber belajar AI yang dapat diakses secara terbuka, seperti buku pegangan AI untuk guru TK sampai SMA yang disusun oleh pakar ICT - Pak Onno W. Purbo (dapat diakses di sini: https://lnkd.in/gmf5KJ8z). Dari dulu beliau memang royal berbagi ilmu - sang "copyleft" saking seringnya bagi2 ilmu gratisan - gak pake "copyright". Seperti waktu itu, di sebuah seminar tahun 2010 beliau juga bagi2 buku gratis dan laman website yang isinya banyak ilmu, simak di sini Blognya Uce Indahyanti: Onno & Inu (fyi.. ternyata websitenya sudah diblokir, padahal banyak ilmu jarkom dan ICT gratisan yang beliau bagi di situ). Selain itu rekan2 peserta ToT juga bagi2 bacaan bagus seputar KKA, bisa diakses di sini: https://www.ibm.com/downloads/documents/us-en/1227cc9e7bcb97d1 dan  https://bambangherlandi.web.id/10-proyek-koding-dan-ai-sederhana-untuk-sma-smk-fase-e-kelas-10/ .. jazaakumullahu khoir.

Terima kasih kepada Kemendikdasmen yang telah mendanai penuh kegiatan tersebut, terimakasih Pimpinan UMSIDA atas rekomendasi penugasannya, selanjutnya insyaaAllah kami akan "getok tular" kan ke guru2 sekolah menengah. Terimakasih para fasilitator dan rekan2 seperjuangan atas semua sharing nya.. sukses selalu dan salam kompak. 

Pengalaman pelatihan ini cukup sepadan dan lebih relevan, dibandingkan program MBG yang menurutku kurang berdampak thd kemajuan dunia pendidikan.. wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat.. barokallahu fiikum

Mei 10, 2025

Bioetika di Balik Jarum Suntik

Ini tentang tubuh, kepercayaan, dan pertanyaan yang wajar kita punya. Belakangan ini, lagi rame seliweran di sosmed bahas vaksin TBC yg baru dikembangkan oleh Yayasan Gates, dan sedang diuji coba di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Sebagian menganggap ini berita baik, kita menjadi bagian dari upaya global melawan penyakit lama. Tapi makin kesini rasanya makin banyak tanda tanya. Kenapa kita yang dipilih ya? Siapa yang mengendalikan data dan risetnya? Apa semuanya sudah transparan?

TB memang bukan penyakit remeh. Di Indonesia, kasusnya masih tinggi.. coba googling. Jadi rasanya masuk akal kalau kita menjadi salah satu negara target uji coba.
Tapi tetap saja muncul pertanyaan. Vaksin ini dikembangkan oleh lembaga luar, dan pusat pengendaliannya bukan di sini. Kantornya bahkan di Singapura, bukan di Jakarta. Kita hanya jadi lokasi uji coba. Lalu, seberapa besar kendali kita dalam proses ini? Rasanya ini masih menjadi trust issue... mungkin ada yang masih ingat bagaimana proyek-proyek kesehatan global sebelumnya pernah meninggalkan rasa tak nyaman. Salah satu yang paling membekas adalah NAMRU-2. 

Ya.. NAMRU (Naval Medical Research Unit) adalah lembaga riset milik militer Amerika yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1970-an. Mereka bukan hanya meneliti penyakit tropis, tapi juga melakukan pengambilan sampel darah dan data kesehatan masyarakat dalam skala besar. 
Masalahnya, aktivitasnya dianggap tidak transparan. Bahkan setelah masa perjanjian kerja samanya habis di 2005, mereka tetap beroperasi. Hal ini memicu kecurigaan, siapa yang sebenarnya memegang kendali? Apakah kita tahu ke mana data dan sampel itu dibawa?

Akhirnya, pada 2009, Presiden SBY melalui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menutup NAMRU-2.. maturnuwun Ibu Dokter (https://www.antaranews.com/berita/744384/namru-bisa-masuk-lagi-manakala-ri-tak-miliki-payung-hukum). Alasannya jelas, demi kedaulatan, etika, dan perlindungan terhadap rakyat Indonesia. Dari kasus itu, kita belajar bahwa kerja sama kesehatan global juga punya dua sisi - satu sisi bisa membawa manfaat besar, sisi lain kalau gak hati" bisa berubah jadi bentuk baru dari eksploitasi.

Informed consent: tahu sebelum bilang "Ya". Ini salah satu prinsip penting dalam dunia Bioetika. Artinya, orang yang jadi subjek riset harus benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Bukan cuma tanda tangan di atas kertas, tapi betul-betul paham isi, risiko, dan haknya. Pertanyaannya: apakah peserta uji coba vaksin ini sudah paham betul? Apakah sudah dijelaskan se-transparan mungkin tentang semua proses, prosentasi berhasil ato gagal, dan efek sampingnya? Dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kalau perlu dengan “bahasa bayi” agar orang awampun bisa paham. Kalau tidak, itu bukan kerja ilmiah namanya, tapi bisa jadi "eksperimen terselubung".. cmiiw. 

Manfaat siapa, risiko siapa? Kalau vaksin ini berhasil, dunia bisa sangat diuntungkan. Tapi... siapa yang paling duluan dapat manfaatnya? Kita, atau negara-negara besar tempat investor dan perusahaan farmasi berada? Bioetika bicara tentang keadilan. Kalau Indonesia yang menjadi tempat uji coba, maka rakyatnya juga berhak mendapat perlindungan, akses, dan manfaat utama. Bukan cuma jadi "perantara ilmiah" lalu dilupakan saat hasilnya jadi produk paten.

Tubuh: amanah, bukan alat! Di luar soal medis dan sains, dalam Islam, tubuh adalah amanah. Kita mesti menjaganya, bukan menjatuhkannya dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah: 195). Ayat ini jadi pengingat, bahwa bertanya, meragukan, dan menolak ketika belum jelas manfaat mudhorot dan hukum’nya, adalah bagian dari menjaga diri sendiri.. wallahu a'lam 

Karena kita berhak  tahu. Kalau kita merasa ragu, bukan berarti “anti sains atau anti kemajuan”. Pinginnya semua proses dilakukan dengan adil, dengan etika, dengan penghormatan pada manusia, dan bukan sekedar statistik riset. Karena di balik jarum suntik, ada tubuh yang harus dijaga. Ada hak yang harus dihormati. Dan ada sejarah yang gak boleh dilupakan. 

Salam sehat

April 15, 2025

Ijazah dan Integritas

Kasus dugaan ijazah palsu dari mantan “vvip” yang kembali mencuat belakangan ini bikin prihatin. Harapannya, kasus ini bisa segera reda dengan pendekatan yang tidak hanya legal-formal, tapi juga komunikatif dan bijak agar tidak berlarut dan tidak merugikan siapa pun.

IMHO (a classic phrase 😊) .. ini bukan hanya soal benar-salah di atas kertas, tapi juga soal trust issue, integritas akademik, dan komunikasi yang jujur.

Sebagai orang yang awam hukum, awalnya mikir sederhana: bukankah bisa diselesaikan  cukup dengan menunjukkan ijazah aslinya (atau dok pendukung jika mmg ilang) ke publik? supaya nggak gaduh terus dan nggak timbul fitnah ke mana-mana? Tapi mungkin, dari sisi hukum dan kelembagaan, apalagi menyangkut data pribadi seorang mantan pejabat tertinggi publik, tentu semua harus lewat prosedur resmi.

Solusi bijak tentu kita harapkan, misalnya ada upaya mediasi dengan pihak independen seperti Ombudsman, Komnas HAM, atau tokoh masyarakat yang punya kredibilitas. Mereka bisa melihat langsung dokumen aslinya, lalu memberikan pernyataan terbuka kepada masyarakat soal keasliannya. Mungkin ini aman secara hukum, dan bisa jadi cara damai untuk menjawab rasa penasaran publik. Atau… mungkin cara ini sudah dicoba, tapi belum ketemu titik temunya? Atau saya mungkin terlewat infonya?

Dari sisi kampus, rasanya akan sangat membantu kalau mereka bisa sedikit lebih terbuka, bukan sekadar menyampaikan pernyataan normatif. Misalnya dengan menjelaskan kronologi kuliahnya, siapa dosen pembimbingnya, seperti apa proses akademiknya, bahkan mungkin testimoni dari teman seangkatan - disertai dgn dokumen pendukung yg sahih, shg masyarakat bisa mendapat gambaran kuat tentang keabsahannya. Atau… ini juga sudah pernah dilakukan, tapi saya belum nemukan beritanya?(sempat riset kecil-kecilan juga.. cmiiw). Atau mungkin proses hukumnya yang dipercepat, kalau memang sudah ada laporan pidana terkait kasus ini. Proses hukum yang terbuka dan fair mungkin bisa jadi jalan keluar juga.. atau mgk ini dulu pernah ditempuh, tp blm ketemu titik temu juga? 

Suara ini, dari saya yang awam, mungkin mewakili sebagian orang yang tidak ingin ikut-ikutan politik praktis, tidak ingin gaduh terus-menerus, hanya ingin jawaban yang logis dan terpercaya. Kasus ini juga jadi pengingat bersama tentang pentingnya integritas, terutama di dunia akademik. Karena ijazah bukan sekadar selembar kertas, tapi simbol dari proses panjang belajar, berjuang, jujur pada diri sendiri, dan bertanggung jawab dengan pencapaian akademik yang diperoleh.

Berharap semua pihak bisa menahan diri, memilih untuk duduk bersama dalam ruang komunikasi yang sehat dan terbuka, dengan niat baik, mgk ada jalan tengah yang tidak merugikan siapa pun dan bisa menyelamatkan marwah bersama.. ah klise tapi semoga bisa πŸ˜‡ #tabayyun