Agustus 24, 2018

Budaya Menglish & Logom..

Istilah2 itu ada di dalam buku antologi keren berjudul “Asyiknya Belajar di 5 Benua”. Mengutip kata pengantar  dari Prof.Dr.Haidar Putra Daulay, M.A. – guru besar UIN Sumut; membaca buku yang ditulis oleh emak2 kontributor  yg punya pengalaman menyekolahkan anak2nya di berbagai negara itu, kita seakan-akan dibawa ikut serta dalam rihlah tarbiyah di berbagai negara tersebut. Kita seakan dibawa mengembara dari timur sampai ke barat. Dari pendidikan yang santai (tapi serius) di Swedia sampai yang sangat ketat di Singapura, sehingga lahir istilah kiasu (saya harus lebih dari orang lain). Belum lagi variasi cuaca di negara-negara tersebut, dari yang sangat ekstrim dingin (hingga mencapai minus 27 derajat Celcius) di tanah Sivas-Turki, sampai yang sangat panas di Dubai (47 derajat Celcius). Hmm.. seru isinya.

Kembali ke istilah Menglish pada judul di atas – istilah itu merujuk pada istilah bahasa Melayu campur English yang kebanyakan digunakan oleh orang Malaysia. Di salah satu sekolah swasta dekat kampus UTM (Universiti Teknologi Malaysia) yang dikelola seorang dosen Malaysia berkebangsaan Cina, memiliki guru yang tutur kata Bahasa Inngris nya bagus (baca : tidak menggunakan Menglish). Sekolah tersebut juga sangat menghargai anak-anak muslim, dengan cara mereka diberi kebebasan membawa makanan dari rumah dengan alat makan dan botol minum yang tidak boleh bercampur dengan temannya yang mayoritas anak Cina. Di Malaysia, sekolah dasar (Sekolah Rendah) yang mendapat subsidi kerajaan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu Sekolah Kebangsaan Melayu, Cina dan Tamil / India – yang merupakan 3 suku mayoritas di Malaysia. Sekolah Kebangsaan hanya diperuntukkan untuk warga negara Malaysia atau warga asing dengan status sedang belajar. Namun warga asing lainnya bisa mengajukan surat permohonan (istilah di Malaysia : surat rayuan ..hehe lucu ya) agar dapat belajar di sekolah kerajaan, tentunya dengan beberapa pertimbangan. Di sana, SMK alias Sekolah Menengah Kebangsaan (baca SMP dan SMA) berada dalam satu sekolah dan total hanya 5 tahun, dan tidak ada lagi pemisahan antar suku.

Serius Tapi Santai (Swedia)
Swedia, negara terdepan dalam hal inovasi dan sustainability, negara yang terkenal dengan banyak produk unggulan diantaranya IKEA, Skype, Volvo atau Nobel Price, ternyata memiliki budaya hidup ‘logom’ alias hidup secukupnya - “just the right amount” , tidak ngoyo alias tidak malas juga, tidak kurang tapi tidak berlebihan, pertengahan. Jadi ingat wahyu Allah dan sabda nabi kita yang mulia, yang menyebut umat Islam adalah umat pertengahan. Budaya ‘logom’ itu juga tercermin dalam dunia pendidikan mereka. Kegiatan di sekolah biasanya menekankan pada pembentukan kebiasaan dan rutinitas, kemandirian, tematic learning, dan selfservice skills (misalnya melepas dan mengenakan sendiri perlengkapan winter-nya, makan dan tidur sendiri, dll). Di tingkat preschool pengenalan huruf diajarkan dengan cara santai - tidak ngoyo, satu huruf bisa diajarkan dalam hitungan bulan, calistung (baca tulis hitung) mulai diajarkan secara formal di kelas nol nanti (masa peralihan dari preschool ke sekolah dasar). Tidak aneh jika menemukan anak kelas 3 SD yg belum bisa membaca. Pendidikan ditekankan pada pengembangan karakter serta nilai-nilai etika dan moral, pendekatannya dilakukan pada tiap individu. Urusan akademis tidak menjadi faktor utama. Tidak ada tes masuk sama sekali untuk bisa memulai sekolah di sana, baik preschool maupun SD. Hampir setiap hari ada kegiatan outdoor di sekolah, tidak peduli musim panas ataukah musim dingin. Budaya literasi lebih terasa di sana, padahal kemampuan membaca tidak didorong untuk sedini mungkin dikuasai. Tidak hanya sekedar bisa membaca yang diinginkan, tapi bagaimana seseorang bisa senang membaca. Membawa anak ke perpustakaan sejak kecil adalah hal yang biasa di sana, bahkan perpustakaan kota punya area ramah bayi lengkap dengan mainan dan full karpet. Swedia juga salah satu negara yang patut dicontoh soal parental leave-nya, menitipkan anak ke orang tua atau babysitter adalah hal yang tak lazim di sana. Hal tersebut sedikit banyak juga dipengaruhi nilai kemandirian setempat. Selama setahun pertama kelahiran anak, biasanya ortu akan bergantian menjaga anak di rumah, hingga masanya anak bisa masuk preschool barulah mereka akan bekerja full lagi. Sehingga  disana tak aneh dijumpai suami/ayah mendorong stroller tanpa ditemani istri, atau playdate para ayah tanpa ditemani istri.

Perang bintang (Turki)
Guru SD di Turki memberlakukan Perang Bintang untuk memotivasi para murid agar semangat dalam belajar membaca dan menulis. Sepuluh bintang pertama yang berhasil diraih seorang murid, merupakan tanda kelulusan membaca. Momen tersebut akan dirayakan dalam tradisi yang disebut Okuma Bayrami, dimana wali murid yang bersangkutan menyediakan cake dan fruit juice kotak untuk dinikmati semua murid sekelas. Setelah Okuma Bayrami, perang bintang belum selesai, jika berhasil meraih bintang ke-20 mereka akan mendapatkan pita merah sebagai tanda keberhasilannya. Pemberian bintang dan hadiah-hadiah kecil tapi bisa memberi motivasi, memang perlu diberikan agar para murid lebih semangat belajar dan berlomba menggali potensi dirinya. Oya papan tulis sekolah di sana yang asalnya blackboard, sejak tahun 2015 telah diganti menjadi smartboard yang terkoneksi dengan internet. Hmmm.. hal menarik lainnya di sana adalah olahraga gulat menjadi olahraga yang sangat digemari kalangan pelajar, selain sepak bola, tak terkecuali di provinsi Sivas – Turki yang terkenal dengan cuaca dinginnya yang sangat ekstrim. Sekolah-sekolah di Sivas sering ditutup sementara, jika suhu minus ekstrim mengunjungi mereka (bisa sampai minus 27 derajat Celcius.. masyaaAllah), dan dibuka lagi jika suhu agak membaik, misalnya “hanya” minus 15 derajat Celcius. Mirip dengan Indonesia, sekolah menengah atas di Turki juga terdapat program sekolah menengah kejuruan, sekolah menengah agama, dan sekolah menengah umum.

No Hat, No Play (Australia)
Di Australia, kesehatan murid-murid menjadi salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus. Tidak hanya masalah imunisasi ataupun makanan sehat, perlindungan dan pencegahan anak dari bahaya kanker kulit juga mendapat perhatian yang serius. “No hat, no play” merupakan peraturan sekolah yang melarang keras para murid bermain di playground atau ruangan terbuka jika mereka tidak memakai topi. Sekolah juga memberi peringatan pada siswa untuk mengenakan sunscreen ketika angka UV melewati batas aman. Pihak sekolah mengharuskan tiap siswa membawa sunscreen sesuai jenis kulitnya dan mengajarkan cara menggunakannya. Peraturan tersebut diterapkan karena tingginya angka statistik penderita kanker kulit di sana. Seperti negara-negara maju lainnya, di Australia dukungan untuk menumbuhkan minat dan day abaca sangat luar biasa. Murid2 diberikan kebebasan membaca buku apa saja, selain buku pelajaran. Tema membaca bebas disesuaikan dengan minat siswa, seringkali tugas2 yg diberikan guru disesuaikan dgn bacaan yg disenangi anak. Setiap hari mereka membawa pulang 1 buku dari perpustakaan sekolah untuk dibaca bersama ortunya. Pe er hanya sesekali diberikan, biasanya pee r berupa tugas membaca. Menjelang akhir term, ada satu tugas besar yang diberikan, misal membuat mini jurnal mengenai hal yang disukai murid. Contoh membuat mini jurnal mengenai salah seorang pemain sepak bola dunia, mulai dari awal meniti karir, klub yang diikuti, sampai prestasi yang diperolehnya. Kegiatan lain yang disukai anak2 antara lain Milo reading – membaca sambil menikmati secangkir coklat panas, Morning reading – membaca dengan didampingi ortu sambil memperagakan cerita di dalamnya (untuk murid year 1), dan Canteen volunteer – menjaga kantin melayani pembeli dan diberi upah berupa voucher belanja di kantin. Sikap toleran terhadap murid muslim juga patut diapresiasi. Sekolah menyediakan ruangan khusus yang sangat layak untuk sholat, bahkan guru2nya juga mengingatkan waktu sholat.

Tidur siang di sekolah  (Taiwan)
Ya betul.. murid2 di Taiwan diwajibkan tidur siang selama satu jam di kelas setiap hari Selasa… Hmmm seperti budaya tidur siang di Spanyol (baca ini juga ya.. https://uce-indahyanti.blogspot.com/2018/04/siesta-qailulah-dan-ceria-ramadhan.html)
Setelah jam makan siang, menyikat gigi dan membersihkan ruang kelas, murid2 diberi penutup kepala berbentuk persegi empat yang multifungsi. Fungsi sebenarnya adalah sebagai pelindung kepala saat keluar dari ruangan ke lapangan jika ada gempa bumi. Namun sehari2 penutup kepala itu juga digunakan sebagai bantal kursi dan bantal tidur siswa. Taiwan memang merupakan salah satu negara yang sering mengalami gempa bumi. Setiap awal semester, dilaksanakan Earthquake and fire rescue training dari pihak sekolah yang bekerjasama dengan fire department di setiap kota. Pada saat tertentu, pihak sekolah tanpa pemberitahuan akan membunyikan alarm bahaya sebagai latihan siaga pada anak2 dan guru2 saat jam sekolah berlangsung…  Jadi inget musibah gempa di Lombok, semoga semua anak2 di Indonesia juga mendapat training tersebut. 
Seorang guru SD di Taiwan akan menjadi walas selama dua tahun berturut2, dg begitu hubungan anak2 dan guru semakin dekat dan guru lebih memahami sifat msg2 anak. Semua murid di Taiwan mempunya nama Cina, termasuk murid2 pendatang, dan Bahasa Mandarin digunakan sebagai Bahasa pengantar di sekolah. Ada guru pendamping yang bisa Bahasa Inggris untuk mendampingi murid pendatang yang belum bisa berbasa Mandarin sama sekali. Para ortu / walmur di sana juga bisa menjadi volunteer di perpustakaan. Selain menambah keakraban antar ortu, hal tsb bisa menjadi ajang bagi ortu pendatang untuk melatih dan menambah kosakata Bahasa Mandarin-nya.

Sementara itu yang bisa dibagi, sebenarnya masih banyak hal seru dan menarik seputar belajar di negara lainnya yang diulas dalam buku tersebut. Seperti belajar di AS, Mesir, Belanda, Ceko, Inggris, Jepang, Jerman, Kanada, Korea, UEA dan Finlandia.  Pada dasarnya banyak hal yang juga telah dilaksanakan di sekolah-sekolah negara kita, hanya mungkin intensitas dan efektivitasnya yang perlu ditingkatkan. 

Secara umum berikut  poin2 yang bisa disimpulkan dari pendidikan dasar di banyak negara tersebut di atas :
  • Kurikulum yang tidak terlalu banyak mata pelajaran
  • Lebih banyak praktek diselingi outdoor activity
  • Active and tematic learning
  • Kegiatan2 ekstrakurikuler yang dikemas dan dikelola dengan serius tapi menyenangkan
  • Pemberian reward yang penuh stimulus
  • Penekanan pada attitude, kemandirian, ketrampilan hidup, dan sejenisnya
  • Pendampingan guru dan pihak sekolah yang sangat mendukung anak2 untuk mengembangkan minatnya, tampil percaya diri dan juga kreatif
  • Toleransi yang bagus pada murid2 muslim di negara minoritas muslim
  • Program2 dan suasana yg sangat mendukung minat dan daya baca anak2
  • Kegiatan parenting dan kegiatan lainnya yang melibatkan peran ortu di sekolah dan di rumah
  • Administrasi masuk sekolah di luar negeri rata2 butuh dokumen dan hal2 berikut : paspor ortu dan anak, dokumen domisili ortu di negara tujuan belajar, bukti imunisasi anak, dokumen2 pendukung dari sekolah asal, dan tes penempatan.

Alhamdulillah.. rasanya banyak hal positif di atas juga sudah diterapkan di sekolah dasar si sulung dan si bungsu (SDIT Insan Kamil Sidoarjo). Dan yang juga penting... kami merasakan semua ustadz dan ustadzah-nya benar2 mendidik dari hati, dg cinta dan keteladanan.. jazaakumullahu khoiron katsiro .. semoga istiqomah dan membawa keberkahan.. aamiiin.






Tidak ada komentar: