Mei 23, 2025

ToT KKA: Dari Skeptis ke Realistis

Allhamdulillah 14 -19 Mei kemarin berkesempatan mengikuti Training of Trainers Koding dan Kecerdasan Artifisial (ToT KKA) Batch 3, yang diselenggarakan oleh Kemendikdasmen. Temanya kekinian banget ya.. hmm awalnya sempat skeptis. Mapel KKA yang rencananya akan jadi mata pelajaran pilihan di jenjang SD, SMP, hingga SMA rasanya terdengar ambisius. Sempat ragu, memangnya semua sekolah sudah siap? Bagaimana dengan gurunya, siswanya, platform pendukungnya? Tapi coba untuk open mind saja, mungkin ini salah satu cara pemerintah untuk memajukan pendidikan dasar dan menengah.

Salah satu hal paling menyenangkan dari kegiatan ini adalah bisa bertemu dengan banyak rekan seprofesi se Indonesia (khususnya bagian tengah dan timur).. nambah jejaring nambah wawasan. Pesertanya ratusan dibagi dalam kelas dan kelompok berbeda. Bisa reunian juga dengan teman kuliah S2 yg kebetulan fasilitator di kelompok kami (foto terlampir kelompok A1 bersama fasilitator Bu Lily dan Bu Maresha). Lama gak sua beliau, sekalinya ketemu langsung full 5 hari😊

Walau jadwal ToT cukup padat: pemaparan materi, simulasi LMS, bedah modul, ngisi lembar kerja, quiz, tes awal & akhir, ngisi kuesioner puanjang, dan peer teaching; tapi semua peserta tetep happy, guyon gayeng, bikin foto ato animasi lucu2an hasil AI untuk latar slide ppt, dan yang gak boleh ketinggalan mlaku2 nang Tunjungan di tiap akhir sesi hehe.. Kebetulan hotel Platinum tempat kami nginep ada di pusat kota, pusat kulineran dan pernak pernik lainnya, pedestriannya bersih dan nyaman .. Malioboro-nya Suroboyo. Kalau ditanya, capek nggak? Pastinya. Durasi pelatihan yg lumayan singkat untuk materi dan tugas yang bejibun. Alhamdulillah semuanya sehat2. Ada 5 modul per fase disesuaikan untuk setiap jenjang (Fase C, D, E, F dari SD sampai SMA kelas 12). Dari situ bisa menangkap, tujuan pelatihan ini sepertinya bukan hanya untuk “mengajarkan coding dan AI” semata, tetapi juga mencoba menyiapkan ekosistem pembelajaran yang relevan dengan perkembangan jaman. Mencoba membekali siswa dengan cara berpikir logis, kreatif, reflektif, dan bertanggung jawab. Dan itu dimulai dari kami dulu, para pendidik.

Salah satu topik yang menarik adalah deep learning dalam konteks pedagogi (bukan temennya si machine learning). Pembelajaran mendalam penuh makna yang menekankan tiga prinsip utama: meaningful learning, mindful learning, joyful learning. Pendekatan itu bergerak dalam tiga tahap : memahami – menerapkan – refleksi dan tindak lanjut.

Dalam sesi peer teaching, setiap peserta diberi topik yang berbeda yang ditentukan oleh fasilitator. Topik yg kupresentasikan adalah rekayasa prompt berbasis AI-Generatif. Teknologi openAI seperti ChatGPT, Gemini, Deepseek, dan sejenisnya, yang kini semakin banyak mengintervensi kehidupan dengan segala manfaat dan risikonya. Karena itu, penting untuk memahami cara me'rekayasa' prompt AI-Gen sekaligus bersikap kritis terhadap hasil yang diberikan. Materi tersebut plus model bahasa besar (LLM) coba kurangkum dalam bentuk dokumen edukatif yang dapat diakses bebas melalui Figshare di alamat https://doi.org/10.6084/m9.figshare.29134664 .. monggo disimak, semoga bermanfaat.

Menurutku AI-Gen khususnya ChatGPT 4.0 sangat membantu, asalkan digunakan dengan etika, akal sehat, dan niat untuk belajar. Sebagai dosen, kerap memanfaatkannya sebagai asisten virtualku untuk menyusun materi, bahan ajar, mengolah ide, membuat soal, mengoreksi jawaban, menyunting naskah, dll (tentu tetap dlm kontrol, batasan dan kendali pribadi). Jadi fair menurutku, jika mahasiswa juga 'diijinkan' menggunakan AI-Gen sebagai alat bantu dalam proses pembelajarannya. Kuncinya tetap: verifikasi, validasi, dan cek-ricek. Jangan asal comot hasilnya tanpa paham konteksnya. Beberapa rekan seprofesi bahkan juga menggunakan pendekatan open book - open gawai, dengan soal-soal yang menantang mahasiswa untuk berpikir kritis dan merefleksikan pemahaman serta pengalaman mereka. Pendekatan ini bisa meminimalisasi plagiasi atau praktik menyalin dan menempel jawaban begitu saja.

Tapi tentu saja, tidak semua hal tentang AI ini mulus. Ada kekuatiran juga, ChatGPT misalnya, kadang mengarang data atau sumber. Kita bisa tergoda untuk copy-paste tanpa memahami isi. Dan jika dosen atau guru hanya mengandalkan AI semata, proses pembelajaran pun bisa kehilangan esensinya. Maka yang harus berubah bukan cuma sikap kita terhadap AI Generatif seperti ChatGPT, Gemini, dll, tapi juga pendekatan pembelajaran kita. Dunia sudah berubah, maka kita juga perlu berinovasi, tapi tetap dengan arah yang jelas.

Lalu, muncul juga refleksi yang cukup menggugah. Di tengah semangat kita memperkenalkan teknologi khususnya AI ke sekolah, negara-negara maju seperti Finlandia dan Swedia justru sedang mengurangi penggunaan perangkat digital di ruang kelas. Mereka kembali ke “cara konvensional” kembali ke buku fisik, tulisan tangan, dan diskusi tatap muka. Alasannya? Kesehatan mental siswa, menurunnya konsentrasi, banyak distraksi, dan dampak jangka panjang dari paparan digital yang berlebihan.

Sementara kita sedang bersiap memasukkan AI ke ruang kelas sekolah dasar dan menengah, yang tentu dikemas dengan diksi narasi materi sesuai fase atau level nya (SD SMP SMA/SMK). Salahkah? Jawabannya tergantung kesiapan dan banyak hal lain, tentu setiap negara punya timeline-nya sendiri. Negara-negara maju mungkin sudah melalui era canggih serba digital, dan sekarang mereka dalam fase mengevaluasi hasilnya. Kita mungkin masih dalam fase membangun pondasi digital, jadi pendekatannya berbeda. Kita bisa belajar dari mereka, mengambil yang positif, tanpa harus mengulang kesalahan yang sama.. semoga.

Beberapa catatan dari ToT yg masih perlu jadi perhatian, mulai dari kesiapan platform LMS, kesiapan seluruh materi di dalam modul yg masih perlu dievaluasi tingkat kesulitannya sesuai level - seperti materi pemrograman berbasis AI yang 'antep' - rasanya lebih pas untuk siswa SMK jurusan RPL, kesiapan pendampingan, kesiapan evaluasi, sampai kesiapan guru dan sumber daya lainnya di sekolah yang tentu beragam. 

Saat ini banyak sumber belajar AI yang dapat diakses secara terbuka, seperti buku pegangan AI untuk guru TK sampai SMA yang disusun oleh pakar ICT - Pak Onno W. Purbo (dapat diakses di sini: https://lnkd.in/gmf5KJ8z). Dari dulu beliau memang royal berbagi ilmu - sang "copyleft" saking seringnya bagi2 ilmu gratisan - gak pake "copyright". Seperti waktu itu, di sebuah seminar tahun 2010 beliau juga bagi2 buku gratis dan laman website yang isinya banyak ilmu, simak di sini Blognya Uce Indahyanti: Onno & Inu (fyi.. ternyata websitenya sudah diblokir, padahal banyak ilmu jarkom dan ICT gratisan yang beliau bagi di situ). Selain itu rekan2 peserta ToT juga bagi2 bacaan bagus seputar KKA, bisa diakses di sini: https://www.ibm.com/downloads/documents/us-en/1227cc9e7bcb97d1 dan  https://bambangherlandi.web.id/10-proyek-koding-dan-ai-sederhana-untuk-sma-smk-fase-e-kelas-10/ .. jazaakumullahu khoir.

Terima kasih kepada Kemendikdasmen yang telah mendanai penuh kegiatan tersebut, terimakasih Pimpinan UMSIDA atas rekomendasi penugasannya, selanjutnya insyaaAllah kami akan "getok tular" kan ke guru2 sekolah menengah. Terimakasih para fasilitator dan rekan2 seperjuangan atas semua sharing nya.. sukses selalu dan salam kompak. 

Pengalaman pelatihan ini cukup sepadan dan lebih relevan, dibandingkan program MBG yang menurutku kurang berdampak thd kemajuan dunia pendidikan.. wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat.. barokallahu fiikum

Mei 10, 2025

Bioetika di Balik Jarum Suntik

Ini tentang tubuh, kepercayaan, dan pertanyaan yang wajar kita punya. Belakangan ini, lagi rame seliweran di sosmed bahas vaksin TBC yg baru dikembangkan oleh Yayasan Gates, dan sedang diuji coba di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Sebagian menganggap ini berita baik, kita menjadi bagian dari upaya global melawan penyakit lama. Tapi makin kesini rasanya makin banyak tanda tanya. Kenapa kita yang dipilih ya? Siapa yang mengendalikan data dan risetnya? Apa semuanya sudah transparan?

TB memang bukan penyakit remeh. Di Indonesia, kasusnya masih tinggi.. coba googling. Jadi rasanya masuk akal kalau kita menjadi salah satu negara target uji coba.
Tapi tetap saja muncul pertanyaan. Vaksin ini dikembangkan oleh lembaga luar, dan pusat pengendaliannya bukan di sini. Kantornya bahkan di Singapura, bukan di Jakarta. Kita hanya jadi lokasi uji coba. Lalu, seberapa besar kendali kita dalam proses ini? Rasanya ini masih menjadi trust issue... mungkin ada yang masih ingat bagaimana proyek-proyek kesehatan global sebelumnya pernah meninggalkan rasa tak nyaman. Salah satu yang paling membekas adalah NAMRU-2. 

Ya.. NAMRU (Naval Medical Research Unit) adalah lembaga riset milik militer Amerika yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1970-an. Mereka bukan hanya meneliti penyakit tropis, tapi juga melakukan pengambilan sampel darah dan data kesehatan masyarakat dalam skala besar. 
Masalahnya, aktivitasnya dianggap tidak transparan. Bahkan setelah masa perjanjian kerja samanya habis di 2005, mereka tetap beroperasi. Hal ini memicu kecurigaan, siapa yang sebenarnya memegang kendali? Apakah kita tahu ke mana data dan sampel itu dibawa?

Akhirnya, pada 2009, Presiden SBY melalui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menutup NAMRU-2.. maturnuwun Ibu Dokter (https://www.antaranews.com/berita/744384/namru-bisa-masuk-lagi-manakala-ri-tak-miliki-payung-hukum). Alasannya jelas, demi kedaulatan, etika, dan perlindungan terhadap rakyat Indonesia. Dari kasus itu, kita belajar bahwa kerja sama kesehatan global juga punya dua sisi - satu sisi bisa membawa manfaat besar, sisi lain kalau gak hati" bisa berubah jadi bentuk baru dari eksploitasi.

Informed consent: tahu sebelum bilang "Ya". Ini salah satu prinsip penting dalam dunia Bioetika. Artinya, orang yang jadi subjek riset harus benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Bukan cuma tanda tangan di atas kertas, tapi betul-betul paham isi, risiko, dan haknya. Pertanyaannya: apakah peserta uji coba vaksin ini sudah paham betul? Apakah sudah dijelaskan se-transparan mungkin tentang semua proses, prosentasi berhasil ato gagal, dan efek sampingnya? Dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kalau perlu dengan “bahasa bayi” agar orang awampun bisa paham. Kalau tidak, itu bukan kerja ilmiah namanya, tapi bisa jadi "eksperimen terselubung".. cmiiw. 

Manfaat siapa, risiko siapa? Kalau vaksin ini berhasil, dunia bisa sangat diuntungkan. Tapi... siapa yang paling duluan dapat manfaatnya? Kita, atau negara-negara besar tempat investor dan perusahaan farmasi berada? Bioetika bicara tentang keadilan. Kalau Indonesia yang menjadi tempat uji coba, maka rakyatnya juga berhak mendapat perlindungan, akses, dan manfaat utama. Bukan cuma jadi "perantara ilmiah" lalu dilupakan saat hasilnya jadi produk paten.

Tubuh: amanah, bukan alat! Di luar soal medis dan sains, dalam Islam, tubuh adalah amanah. Kita mesti menjaganya, bukan menjatuhkannya dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah: 195). Ayat ini jadi pengingat, bahwa bertanya, meragukan, dan menolak ketika belum jelas manfaat mudhorot dan hukum’nya, adalah bagian dari menjaga diri sendiri.. wallahu a'lam 

Karena kita berhak  tahu. Kalau kita merasa ragu, bukan berarti “anti sains atau anti kemajuan”. Pinginnya semua proses dilakukan dengan adil, dengan etika, dengan penghormatan pada manusia, dan bukan sekedar statistik riset. Karena di balik jarum suntik, ada tubuh yang harus dijaga. Ada hak yang harus dihormati. Dan ada sejarah yang gak boleh dilupakan. 

Salam sehat