Ini tentang tubuh, kepercayaan, dan pertanyaan yang wajar kita punya. Belakangan ini, lagi rame seliweran di sosmed bahas vaksin TBC yg baru dikembangkan oleh Yayasan Gates, dan sedang diuji coba di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sebagian menganggap ini berita baik, kita menjadi bagian dari upaya global melawan penyakit lama. Tapi makin kesini rasanya makin banyak tanda tanya. Kenapa kita yang dipilih ya? Siapa yang mengendalikan data dan risetnya? Apa semuanya sudah transparan?
TB memang bukan penyakit remeh. Di Indonesia, kasusnya masih tinggi.. coba googling. Jadi rasanya masuk akal kalau kita menjadi salah satu negara target uji coba.
Tapi tetap saja muncul pertanyaan. Vaksin ini dikembangkan oleh lembaga luar, dan pusat pengendaliannya bukan di sini. Kantornya bahkan di Singapura, bukan di Jakarta. Kita hanya jadi lokasi uji coba. Lalu, seberapa besar kendali kita dalam proses ini? Rasanya ini masih menjadi trust issue... mungkin ada yang masih ingat bagaimana proyek-proyek kesehatan global sebelumnya pernah meninggalkan rasa tak nyaman. Salah satu yang paling membekas adalah NAMRU-2.
Ya.. NAMRU (Naval Medical Research Unit) adalah lembaga riset milik militer Amerika yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1970-an. Mereka bukan hanya meneliti penyakit tropis, tapi juga melakukan pengambilan sampel darah dan data kesehatan masyarakat dalam skala besar.
Masalahnya, aktivitasnya dianggap tidak transparan. Bahkan setelah masa perjanjian kerja samanya habis di 2005, mereka tetap beroperasi. Hal ini memicu kecurigaan, siapa yang sebenarnya memegang kendali? Apakah kita tahu ke mana data dan sampel itu dibawa?
Akhirnya, pada 2009, Presiden SBY melalui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menutup NAMRU-2.. maturnuwun Ibu Dokter (https://www.antaranews.com/berita/744384/namru-bisa-masuk-lagi-manakala-ri-tak-miliki-payung-hukum). Alasannya jelas, demi kedaulatan, etika, dan perlindungan terhadap rakyat Indonesia. Dari kasus itu, kita belajar bahwa kerja sama kesehatan global juga punya dua sisi - satu sisi bisa membawa manfaat besar, sisi lain kalau gak hati" bisa berubah jadi bentuk baru dari eksploitasi.
Informed consent: tahu sebelum bilang "Ya". Ini salah satu prinsip penting dalam dunia Bioetika. Artinya, orang yang jadi subjek riset harus benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Bukan cuma tanda tangan di atas kertas, tapi betul-betul paham isi, risiko, dan haknya. Pertanyaannya: apakah peserta uji coba vaksin ini sudah paham betul? Apakah sudah dijelaskan se-transparan mungkin tentang semua proses, prosentasi berhasil ato gagal, dan efek sampingnya? Dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kalau perlu dengan “bahasa bayi” agar orang awampun bisa paham. Kalau tidak, itu bukan kerja ilmiah namanya, tapi bisa jadi "eksperimen terselubung".. cmiiw.
Manfaat siapa, risiko siapa? Kalau vaksin ini berhasil, dunia bisa sangat diuntungkan. Tapi... siapa yang paling duluan dapat manfaatnya? Kita, atau negara-negara besar tempat investor dan perusahaan farmasi berada? Bioetika bicara tentang keadilan. Kalau Indonesia yang menjadi tempat uji coba, maka rakyatnya juga berhak mendapat perlindungan, akses, dan manfaat utama. Bukan cuma jadi "perantara ilmiah" lalu dilupakan saat hasilnya jadi produk paten.
Tubuh: amanah, bukan alat! Di luar soal medis dan sains, dalam Islam, tubuh adalah amanah. Kita mesti menjaganya, bukan menjatuhkannya dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah: 195). Ayat ini jadi pengingat, bahwa bertanya, meragukan, dan menolak ketika belum jelas manfaat mudhorot dan hukum’nya, adalah bagian dari menjaga diri sendiri.. wallahu a'lam
Karena kita berhak tahu. Kalau kita merasa ragu, bukan berarti “anti sains atau anti kemajuan”. Pinginnya semua proses dilakukan dengan adil, dengan etika, dengan penghormatan pada manusia, dan bukan sekedar statistik riset. Karena di balik jarum suntik, ada tubuh yang harus dijaga. Ada hak yang harus dihormati. Dan ada sejarah yang gak boleh dilupakan.
Salam sehat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar