Allhamdulillah 14 -19 Mei kemarin berkesempatan mengikuti Training of Trainers Koding dan Kecerdasan Artifisial (ToT KKA) Batch 3, yang diselenggarakan oleh Kemendikdasmen. Temanya kekinian banget ya.. hmm awalnya sempat skeptis. Mapel KKA yang rencananya akan jadi mata pelajaran pilihan di jenjang SD, SMP, hingga SMA rasanya terdengar ambisius. Sempat ragu, memangnya semua sekolah sudah siap? Bagaimana dengan gurunya, siswanya, platform pendukungnya? Tapi coba untuk open mind saja, mungkin ini salah satu cara pemerintah untuk memajukan pendidikan dasar dan menengah.
Salah satu hal paling menyenangkan dari kegiatan ini adalah bisa bertemu dengan banyak rekan seprofesi se Indonesia (khususnya bagian tengah dan timur).. nambah jejaring nambah wawasan. Pesertanya ratusan dibagi dalam kelas dan kelompok berbeda. Bisa reunian juga dengan teman kuliah S2 yg kebetulan fasilitator di kelompok kami (foto terlampir kelompok A1 bersama fasilitator Bu Lily dan Bu Maresha). Lama gak sua beliau, sekalinya ketemu langsung full 5 hari😊
Walau jadwal ToT cukup padat: pemaparan materi, simulasi LMS, bedah modul, ngisi lembar kerja, quiz, tes awal & akhir, ngisi kuesioner puanjang, dan peer teaching; tapi semua peserta tetep happy, guyon gayeng, bikin foto ato animasi lucu2an hasil AI untuk latar slide ppt, dan yang gak boleh ketinggalan mlaku2 nang Tunjungan di tiap akhir sesi hehe.. Kebetulan hotel Platinum tempat kami nginep ada di pusat kota, pusat kulineran dan pernak pernik lainnya, pedestriannya bersih dan nyaman .. Malioboro-nya Suroboyo. Kalau ditanya, capek nggak? Pastinya. Durasi pelatihan yg lumayan singkat untuk materi dan tugas yang bejibun. Alhamdulillah semuanya sehat2. Ada 5 modul per fase disesuaikan untuk setiap jenjang (Fase C, D, E, F dari SD sampai SMA kelas 12). Dari situ bisa menangkap, tujuan pelatihan ini sepertinya bukan hanya untuk
“mengajarkan coding dan AI” semata, tetapi juga mencoba menyiapkan ekosistem
pembelajaran yang relevan dengan perkembangan jaman. Mencoba membekali siswa
dengan cara berpikir logis, kreatif, reflektif, dan bertanggung jawab. Dan itu
dimulai dari kami dulu, para pendidik.
Menurutku AI-Gen khususnya ChatGPT 4.0 sangat membantu, asalkan digunakan dengan etika, akal sehat, dan niat untuk belajar. Sebagai dosen, kerap memanfaatkannya sebagai asisten virtualku untuk menyusun materi, bahan ajar, mengolah ide, membuat soal, mengoreksi jawaban, menyunting naskah, dll (tentu tetap dlm kontrol, batasan dan kendali pribadi). Jadi fair menurutku, jika mahasiswa juga 'diijinkan' menggunakan AI-Gen sebagai alat bantu dalam proses pembelajarannya. Kuncinya tetap: verifikasi, validasi, dan cek-ricek. Jangan asal comot hasilnya tanpa paham konteksnya. Beberapa rekan seprofesi bahkan juga menggunakan pendekatan open book - open gawai, dengan soal-soal yang menantang mahasiswa untuk berpikir kritis dan merefleksikan pemahaman serta pengalaman mereka. Pendekatan ini bisa meminimalisasi plagiasi atau praktik menyalin dan menempel jawaban begitu saja.
Tapi
tentu saja, tidak semua hal tentang AI ini mulus. Ada kekuatiran juga, ChatGPT
misalnya, kadang mengarang data atau sumber. Kita bisa tergoda untuk copy-paste
tanpa memahami isi. Dan jika dosen atau guru hanya mengandalkan AI semata, proses
pembelajaran pun bisa kehilangan esensinya. Maka yang harus berubah bukan cuma
sikap kita terhadap AI Generatif seperti ChatGPT, Gemini, dll, tapi juga
pendekatan pembelajaran kita. Dunia sudah berubah, maka kita juga perlu
berinovasi, tapi tetap dengan arah yang jelas.
Lalu, muncul juga refleksi
yang cukup menggugah. Di tengah semangat kita memperkenalkan teknologi khususnya
AI ke sekolah, negara-negara maju seperti Finlandia dan Swedia justru sedang
mengurangi penggunaan perangkat digital di ruang kelas. Mereka
kembali ke “cara konvensional” kembali ke buku fisik, tulisan tangan, dan
diskusi tatap muka. Alasannya? Kesehatan mental siswa, menurunnya konsentrasi, banyak distraksi, dan dampak jangka panjang dari paparan digital yang berlebihan.
Sementara
kita sedang bersiap memasukkan AI ke ruang kelas sekolah dasar dan menengah, yang
tentu dikemas dengan diksi narasi materi sesuai fase atau level nya (SD SMP
SMA/SMK). Salahkah? Jawabannya tergantung kesiapan dan banyak hal lain, tentu setiap negara
punya timeline-nya sendiri. Negara-negara maju mungkin sudah melalui era canggih serba digital, dan sekarang mereka dalam fase mengevaluasi hasilnya. Kita
mungkin masih dalam fase membangun pondasi digital, jadi pendekatannya berbeda.
Kita bisa belajar dari mereka, mengambil yang positif, tanpa harus mengulang
kesalahan yang sama.. semoga.
Beberapa
catatan dari ToT yg masih perlu jadi perhatian, mulai dari kesiapan platform LMS, kesiapan seluruh materi di dalam modul yg masih perlu dievaluasi tingkat kesulitannya sesuai level - seperti materi pemrograman berbasis AI yang 'antep' - rasanya lebih pas untuk siswa SMK jurusan RPL, kesiapan pendampingan, kesiapan evaluasi, sampai kesiapan guru dan sumber
daya lainnya di sekolah yang tentu beragam.
Terima kasih kepada Kemendikdasmen yang telah mendanai penuh kegiatan tersebut, terimakasih Pimpinan UMSIDA atas rekomendasi penugasannya, selanjutnya insyaaAllah kami akan "getok tular" kan ke guru2 sekolah menengah. Terimakasih para fasilitator dan rekan2 seperjuangan atas semua sharing nya.. sukses selalu dan salam kompak.
Pengalaman pelatihan ini cukup sepadan dan lebih relevan, dibandingkan program MBG yang menurutku kurang berdampak thd kemajuan dunia pendidikan.. wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.. barokallahu fiikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar