Seorang bapak curhat pada Khalifah Umar bin Khattab tentang anaknya yang dirasanya tidak berbakti dan tidak sholeh. Sang Khalifah memanggil sang anak untuk memberikan nasehat2 padanya, dan si anak menjawab : “bagaimana aku jadi anak yg sholeh kalau Bapakku tidak memberikan bekal yang cukup padaku yaitu tidak memberikan nama yang baik untukku, tidak memberikan ibu yang baik untukku dan tidak mengajariku Al Qur’an”.
Cerita tadi menjadi salah satu isi sambutan Ka.Sekolah SDIT Insan Kamil (sekolah anakku) saat acara Haflah Imtihan Metode Ummi Angkatan I (perayaan ujian dan pengesahan kelulusan metode Ummi : salah satu metode belajar membaca Al Qur’an) 31 Mei Sabtu kemarin. Beliau juga mengingatkan bahwa kerjasama orang tua sangat diperlukan untuk dapat menyukseskan program-program sekolah dalam mewujudkan anak-anak yang bukan hanya tartil baca Al Qur’an tapi mampu juga memahami esensinya dan menerapkannya untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Subhanallah…sepanjang acara aku dan suami dibuat terharu oleh hafalan surat-surat Al Qur’an dan bacaan tartil Al Qur’an teman-teman sekolah anakku di atas panggung. Sejumlah 60 siswa duduk bersila di panggung dan dengan suara beningnya melafalkan surat-surat dan bacaan Al Qur’an. Panitia memberikan kesempatan pada undangan yang hadir untuk langsung menguji mereka. Dan hampir semuanya dapat menjawab dengan sempurna termasuk pertanyaan dari pihak Ummi Foundation.
Aku bangga dengan mereka semua walaupun si-kecil-ku belum ada diantara mereka yang diwisuda. Aku bangga dengan pihak sekolah anakku yang telah menunjukkan komitmen yang kuat sesuai visi misi yang mereka paparkan saat pendaftaran sekolah anakku dulu.
Acara itu juga telah berhasil mengingatkan aku & suami yang selama ini kurang konsisten dalam menyelaraskan program-program sekolah yang udah bagus dengan aktifitas di rumah.
Contoh kecil saja…beberapa kali aku “cuek” tidak mengingatkan anakku baca Al Qur’an pada halaman yang sudah ditentukan oleh ustadzah-nya di buku penghubung Qiro’ati yang wajib kami tanda tangani setiap harinya. Kadang-kadang (dengan alasan) karena capek, ku-ttd-aja buku penghubung itu tanpa ba-bi-bu. Apalagi aku merasa anakku udah “bisa” dan malah sering mengingatkan bacaanku yang salah kalau pas lagi ngaji bersamanya. Aku merasa tugasku udah diambil alih pihak sekolah yang telah menyelenggarakan pelajaran Qiro’ati 10 jam per minggu-nya.
Selain pantauan bacaan Qur’annya, kami juga diwajibkan mengisi dengan rutin buku penghubung yang lain untuk aktifitas sholat lima waktunya. Awal2 saat anakku masih kelas 1 hal ini cukup memberatkan. Membandingkan bahwa seusianya dulu aku merasa belum “diwajibkan” untuk sholat lengkap 5 waktu oleh ortu-ku. Tapi kami telah terikat komitmen dg pihak sekolah untuk ikut memantaunya. Dan sekarang aku merasakan “buah manisnya”… si kecil-ku telah dengan sendirinya berusaha menunaikan sholat lima waktunya dengan konsisten. Malah dia yang sering mengingatkan kami untuk sholat tepat pada waktunya.
Aku benar2 menyadari sekarang bahwa tanpa dukungan penuh orang tua di rumah rasanya memang seperti “membongkar puzzle atau bangunan balok yang udah disusun & dibangun dengan rapi” oleh pihak sekolah.
Begitu sering aku mendengar…tidak ada yang instan untuk suatu proses pembelajaran , semuanya butuh waktu dan konsistensi…. Dan aku tahu itu 100% betul ! Tapi ternyata “butuh komitmen kuat” melaksanakannya. Benar cerita ttg anak pada jaman Khalifah Umar yang disampaikan Ka.Sekolah di atas tadi, bahwa tugas dan kewajiban orang tualah untuk memberikan bekal yang baik pada anak, pihak sekolah hanya membantu menyempurnakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar